Sebuah Pesan Kepada Pencari Kebenaran
Bagian Kedua
by
Irham Fachreza Anas
member of Sharia Business Intelligence
Agar Pembaca
lebih memahami secara menyeluruh atas topik tulisan “Antara Ribâ, Bunga, Bonus dan Bagi Hasil, Sebuah Pesan Kepada Pencari Kebenaran”, saya menyarankan agar membaca terlebih
dahulu dengan meng-klik link ini : https://irham-anas.blogspot.co.id/2017/10/antara-riba-bunga-bonus-dan-bagi-hasil.html
Perspektif Dalam
Menanggapi Argumen
1 : Tidak Ada Akad Wadi’ah Pada Produk Simpanan Bank Syariah
“...Memang jika dilihat perjalanan sejarah, fatwa sebagai
salah satu pranata dalam pengambilan keputusan hukum Islam memiliki kekuatan
yang dinamis dan kreatif. Hal ini dapat dilihat dari eksisnya sejumlah mazhab
hukum yang memiliki corak masing-masing sesuai dengan kondisi sosio
kulturalnya. Terfragmentasinya kesimpulan hukum Islam yang tergambar dari
beberapa mazhab yang ada dapat dirunut jauh ketika pada masa sahabat Nabi. Pada
masa sahabat ini telah terjadi keberagaman fatwa dalam menghadapi suatu
peristiwa keberagamana fatwa ini pada gilirannya diwarisi oleh generasi
berikutnya, yakni para Tabiin, dimana pada ini lahir dua aliran besar dalam
sistem pengambilan hukum Islam, yakni Fiqh Hijaz yang terkenal dengan aliran
ahlu al-hadis dan Fiqh Iraq yang terkenal dengan aliran ahlu al-ra’y. Fragmentasi
dalam fiqih yang berkembang di masa tabi’in ini kemudian berkembang lagi dan
mengkristal dalam bentuk mazhab-mazhab, yang lahir sesuai konteks waktu, tempat
dan kondisi sosio kulturalnya. Hal ini semakin menggambarkan bahwa perubahan
sosial turut mempengaruhi perubahan fatwa atau bahkan hukum dalam Islam. Dalam
kaitan ini menjadi menarik apa yang dikemukanan oleh Ibnu AL-Qayyim yang
menyatakan bahwa kesimpulan fatwa bisa
berbeda disebabkan oleh perubahan zaman, tempat, keadaan dan konteksnya” [KH. Ma’ruf Amin hafizhahullâh, Fatwa Dalam Sistem Hukum
Islam, hal 10].
“Namun, pada hakikatnya, mujtahid itu bukan menetapkan dan membuat
hukum, karena sesuai dengan keyakinan dalam Islam, bahwa yang berhak menetapkan
hukum syara’ hanyalah Allah SWT dan tiada hukum kecuali dari Allah, sebagaimana
difirmankan Allah dalam Al-Qur’an, surat al-An’am (6) : 57.Karena itu, dapat dikatakan bahwa hukum yang dapat dicapai seorang
mujtahid itu adalah “hukum Allah dalam lisan mujtahid”.[Prof. Dr. H. Amir
Syarifuddin hafizhahullâh, Ushul Fiqh 2,
hal 290]
“Kalau baca buku itu (buku tentang diskursus pemikiran,
aqidah dan hukum Islam), hanya 1 intinya yaitu keikhlasan. Jadilah orang yang
tulus ikhlas.”
[Nasehat Dr. KH.
Surahman Hidayat hafizhahullâh
kepada Penulis]
“Saya ikut fatwa‘Ulama Dewan ...... Fatwa DSN-MUI bukan lahir dalam sehari,
melainkan lahir melalui proses panjang berhari-hari. Fatwa DSN-MUI bukan lahir
dari hasil kontemplasi pribadi, melainkan lahir dengan melibatkan beragam ahli
; ‘Ahli Fiqh, Ahli Ushul Fiqh, Ahli
Bahasa, Praktisi, Regulator, Ahli Hukum (Positif)
dan pihak terkait lainnya. Sepanjang pengamatan, fatwa yang diterbitkan DSN-MUI tetap
mempertimbangkan aspek hukum positif yang mengikat objek fatwa, common practice
yang terjadi pada objek fatwa, juga perspektif sosio-kultural masyarakat Indonesia. Inilah yang
menjadi pembeda Fatwa ‘Ulama Dewan.” [https://irham-anas.blogspot.co.id/2017/11/fatwa-ulama-dewan.html]
“Di
sisi lain, menurut Ridwan, Malaysia tentu bisa belajar dari karakteristik fatwa
LKS di Indonesia yang lebih moderat. Artinya tidak terlalu ”liberal” seperti
Malaysia atau terlalu ”stricted” seperti fatwa di Timur Tengah. ”Saya kira,
fatwa-fatwa kita saat ini mulai dipelajari oleh beragai negara,” kata Ridwan
menambahkan.”
[https://mridwancenter.wordpress.com/2014/11/10/fatwa-ekonomi - syariah -kita-lebih-baik-daripada-malaysia/]
[https://mridwancenter.wordpress.com/2014/11/10/fatwa-ekonomi - syariah -kita-lebih-baik-daripada-malaysia/]
“Di hadapan Pemakan Ribâ dan Pemberi Ribâ, ia menjadi investor perantara ketersediaan dana untuk transaksi ribawi layaknya manzilah baina manzilatain. Tidak akan terjadi transaksi ribawi kecuali dengan kehadirannya. Atas dasar keterkaitan inilah orang yang tidak memiliki alasan syar’i itu dapat disebut Investor Ribâ yang berdosa.”
Mungkin
banyak dalil atau argumentasi yang digunakan ketika mempromosikan kalimat “Riba (Bunga, Bonus, Bagi Hasil)” pada tulisan berjudul Hukum Menabung di Bank Konvensional atau Bank Syariah di situs albaitu. Dilihat
dari ‘gaya’ tulisan, situasi dan kondisi yang sedang hits di bidang Ekonomi Syariah saat ini, tak salah jika penulis menyimpulkan
bahwa ia menyandarkan perspektif tulisannya kepada fatwa - fatwa muamalat yang dikeluarkan
oleh Dr. Erwandi Tarmizi, Dr. Muhammad Arifin Badri, Ammi Nur Baits, Lc,
Muhammad Abduh Tuasikal, ST, MSc hafizhahumullâh.
Perspektifnya dalam menulis “Riba (Bunga, Bonus,Bagi Hasil)” bahwa akad simpanan di
Bank Syariah hanya ada Hutang – Piutang. Pada hakikatnya nasabah yang memberi hutang kepada Bank Syariah. Oleh sebab itu
berlalu kaidah ; Setiap pinjaman (hutang-piutang) yang mendatangkan tambahan maka itulah ribâ.
Tanpa perlu
berspekulasi lebih jauh, berikut beberapa argumentasi menyentuh substansi sehingga tepat diangkat dalam
tulisan ini.
Argumen 1 : Tidak Ada Akad Wadi’ah
Pada Produk Simpanan Bank Syariah
“… Anda sebagai nasabah kreditor, nabung di Bank.
Ada kemungkinan 3 transaksi di sana ; pertama transaksi wadiah, titip
uang, yang kedua transaksi investasi mudharabah, permodalan, yang ketiga
transaksi hutang – piutang. Dari tiga transaksi ini mana yang paling
memungkinkan?....... Hutang piutang, kenapa hutang piutang caba kita teliti
satu satu ;”
“Kalau dia wadiah,
konsekuensi dari wadiah penerima uang tadi tidak dibenarkan untuk
memanfaatkannya (a) . Dia ga boleh,
uang itu diputer itu ga boleh. Bapak
misalnya nitip uang 5 juta ke tetangga sebelah, saya titip 5 juta, bulan depan mau saya ambil, saya mau pergi. Boleh
ga tetangga yang nerima tadi, dari pada
ngangggur tak pake beli motor, boleh tidak? Ga boleh ini sikap tidak amanah. Ini berkhianat,
kalau dia siap menerima amanah dititipi wajib dijaga”
-----
“(contoh) Kami Bank Syariah produk kami wadiah duit
nasabah ketika mampir di
tempat kami, kami putar, ooo berarti Bank
Syariahnya tidak amanah, ini praktik tidak
amanah, berarti itu bukan wadiah (b).”
Argumentasi (a) lemah, sebab yang tidak
dibenarkan itu adalah penggunaan /investasi barang titipan (wadî’ah) tanpa izin penitip (mudi’). Ulama
sepakat bahwa
menginvestasikan dana titipan (wadî’ah) tanpa izin pemiliknya (mudi’) merupakan
pelanggaran (al-ta’addi) yang pelakunya wajib bertanggung jawab (al-dhamân) dalam hal terjadi kerusakan atau kerugian. Menurut ‘Ulama
Malikiyah hukum
investasi harta titipan
berupa uang tanpa izin dari pemiliknya adalah makruh. Sedangkan, hukum investasi harta
titipan berupa barang tanpa izin dari pemiliknya adalah haram. [Fikih Mu’amalah Maliyyah Jilid Akad Tabarru’, hal 64].
Dr. Oni Sahroni dalam Ushul Fikih Muamalah menulis para Ulama telah ber-ijma' bahwa menggunakan titipan seizin pemiliknya itu boleh. [hal 78].
Dr. Oni Sahroni dalam Ushul Fikih Muamalah menulis para Ulama telah ber-ijma' bahwa menggunakan titipan seizin pemiliknya itu boleh. [hal 78].
Argumentasi (b) lemah dan
cenderung menuduh,
karena menafikan ‘urf atau common practice pada kegiatan penghimpunan dana di dunia
perbankan.
Fatwa DSN-MUI No. 1 (Giro) dan No. 2 (Tabungan)
dalam ketentuan umum Giro/Tabungan berdasarkan wadi’ah tidak mengatur tentang
izin dari penitip (Nasabah), melainkan hanya mengatur 3 (tiga) hal : i) bersifat
titipan, ii) titipan
bisa diambil kapan saja (on call) dan/atau berdasarkan kesepakatan dan iii) tidak ada imbalan yang
disyaratkan, kecuali dalam bentuk pemberian (‘athaya) yang bersifat sukarela dari pihak bank.
Apakah kedua Fatwa DSN-MUI itu lemah karena
mengabaikan ketentuan wadi’ah tentang izin penitip ? Tentu saja tidak demikian jika
kita menelaah kembali konsep tentang fiqh dan fatwa sebagaimana yang dijelaskan
‘ulama.
Dikutip dari
teks Pidato Ilmiah Pembaharuan Hukum Ekonomi Syariah Dalam
Pengembangan Produk Keuangan Kontemporer (Transformasi Fikih Muamalat Dalam
Pengembangan Ekonomi Syariah) pada Penganugerahan Gelar Doktor
Kehormatan (Doctor Honoris Causa) Dalam Bidang Hukum Ekonomi Syariah tanggal 05
Mei 2012 di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta sebagai
berikut :
Perbedaan antara fikih dan fatwa bisa dipahami dari definisi
keduanya. Fikih didefinisikan sebaga
al-‘ilmu bil ahkam al-syariyyah al-‘amaliyah al-muktasab min
adillatiha al-tafshiliyyah9 (mengetahui hukum syari’ah amaliah yang
digali dari dalil-dalil yang bersifat rinci). Sedangkan fatwa dapat
didefenisikan sebagai tabyin al-hukm as-syar’iyy liman saala ‘anhu10
(menjelaskan hukum syar’i kepada yang menanyakannya). Definisi ini memberikan
gambaran bahwa fikih merupakan hasil dari proses penyimpulan hukum syar’i dari
dalil-dalil rinci (tafshili), sedangkan fatwa merupakan hasil dari proses
penyimpulan hukum syar’i dari permasalahan yang ditanyakan. Fikih bersandar
pada proses penggalian terhadap dalil-dalil tafshili, sedangkan fatwa bersandar
pada identifikasi permasalahan (tashawwur al-masalah) kemudian dicarikan hukumnya
dari dalil-dalil tafshili. Dengan begitu, perbedaan mendasar antara fikih dan
fatwa adalah pendekatan identifikasi permasalahan yang terjadi ; fikih tidak
memerlukannya, sedangkan fatwa sangat memerlukannya.11
Kesimpulan tersebut mempertegas proposisi di atas, bahwa fatwa
lahir selain didasarkan atas nushush syar’iyyah, juga didasarkan atas refleksi
dari kondisi sosial yang melingkupinya12. Sebagaimana difahami bahwa
proses identifikasi permasalahan yang ditanyakan oleh mustafti (orang yang
meminta fatwa) merupakan refleksi terhadap kondisi sosial yang melingkupinya.
Akibatnya, fatwa yang
merupakan hasil dari proses mendialogkan kondisi sosial dan nash menghasilkan kesimpulan
hukum yang mungkin berbeda dari kesimpulan hukum yang termaktub dalam
kitab-kitab fikih terdahulu. (hal 7)
Izin Penitip adalah persoalan fiqh dalam
bab wadî’ah atau al-îdâ’. Al-îda’ menjadi pilihan kata yang digunakan Dr.
Wahbah al-Zuhailiy rahimahullâh dalam kitabnya al-Fiqh al-Islâmiy
ketika menulis bab tentang wadi’ah [jilid 4, hal 707].
Sementara lainnya adalah fatwa atau status
hukum tentang Giro dan Tabungan yang notabene merupakan produk simpanan guna menghimpun dana masyarakat untuk
kegiatan bisnis Bank. Berdasarkan urf atau
common practice pada kegiatan penghimpunan dana di bidang
perbankan, nasabah yang menggunakan giro dan tabungan sudah pasti tahu bahwa memang ; i) dana mereka digunakan
oleh Bank dan ii) dapat diambil kapan
saja dengan media tertentu. Praktek tersebut dibenarkan dalam Undang-Undang Perbankan Syariah
nomor 21/2008.
Berbeda kondisinya jika titipan itu dimaksudkan
untuk menunjuk kepada makna kegiatan penjagaan al-hifzu dan penyediaan tempat atau al-hirz.[Fikih Mu’amalah Maliyyah Jilid Akad Tabarru’, hal 63]. Hal ini dapat diberlakukan pada
produk jasa safe deposit box yang
menjadikan aspek izin penitip sangat
penting untuk diperhatikan. Misalnya, membuka (kotak atau bentuk lainnya) dari safe deposit box harus memperoleh ijin penitip dalam bentuk membukanya secara
bersamaan (double key).
Namun, perlu diketahui dan dipahami bahwa
DSN-MUI telah menetapkan fatwa
tersendiri terhadap safe deposit box melalui
penerbitan Fatwa DSN-MUI No.24/DSN-MUI/III/2002
yang mendudukannya ke dalam aturan Ijârah. Sebagaimana juga
terdapat dalam KHES pasal 330 s/d 334 tentang Shunduq al-hifzi
Ida’ / Safe Deposit Box. Penetapan tersebut, bisa jadi karena dalam khazanah fiqh ada perbedaan pendapat mengenai boleh tidaknya Penerima Titipan meminta imbalan.
Kesimpulan berdasarkan urf atau
common practice pertama ;
Akad wadi’ah berlaku pada produk Simpanan.
Bank Syariah tetap amanah, sebab demikianlah ‘urf atau common practice pada kegiatan penghimpunan dana di dunia
perbankan. Dalam hal, Bank Syariah
menggunakan dana untuk kegiatan investasi, maka titipan tadi bersifat yad al-dhamân (dengan kewajiban menjamin pengembaliannya). Kompilasi Hukum
Ekonomi Syariah (KHES) Pasal 413 ayat (3) menyatakan bahwa dalam wadi’ah dhamanah objek titipan dapat digunakan
tanpa seizin (penitip/mudi’/muwaddi’).
Sebagai langkah pengamanan, Penulis menyarankan
agar klausul yang menjelaskan penggunaan dana titipan oleh Bank tetap dicantumkan
dalam contract drafting pembukaan rekening. Hal tersebut mungkin diperlukan
untuk kepentingan litigasi dan juga sektor keuangan di luar perbankan, mengingat KHES Pasal 413 membedakan
konsep wadi’ah amanah dan wadi’ah dhamanah dari aspek penggunaan
dan izin penitip. Bisa jadi perbedaan itu mungkin dimaksudkan untuk mengakomodir
kegiatan-kegiatan wadî’ah di luar yang dipraktik oleh perbankan. Sebagai
langkah mitigasi risiko hukum, kenapa tidak ?
Berdasarkan Peraturan Mahkamah Agung
Republik Indonesia No. 02 Tahun 2008
tentang Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah diatur bahwa Hakim dalam lingkungan
peradilan Agama yang memeriksa, mengadili dan menyelesaikan perkara yang
berkaitan dengan ekonomi syariah mempergunakan prinsip syariah dalam KHES dengan
tidak mengurangi tanggung jawab Hakim untuk mengadili dan menemukan hukum untuk
menjamin putusan yang adil dan benar.
‘Urf
atau common practice kedua pada kegiatan penghimpunan dana adalah berbagai
fasilitas keuangan yang dapat diakses penggunan simpanan. Fitur tarikan dan setoran via
ATM, transfer, m-banking, payment, dan lainnya termasuk mendapatkan/pemberian
imbal jasa. Imbal jasa atas simpanan inilah yang menjadi
masalahnya.
“Kebiasan itu dapat menjadi Hukum” [Qawaid
Fiqhiyyah Dalam Perspektif Fiqh - Dr. Ahmad Sudirman Abbas hafizhahullâh hal, 155].
Apakah kebiasaan memberi itu dilarang ? Kebiasan
memberi itu tidak dilarang bahkan Rasûlullâh shallallâhu ‘alaihi wa
sallam sendiri menyuruh kita untuk saling memberi hadiah, sebagaimana
hadits dari Abu Hurairah, Abdullah Ibn Umar
dan Aisyah radhiallâhu ‘anhum :
“saling memberilah hadiah, niscaya kalian akan saling mencintai”
Bagaimana jika kebiasaan memberi ini
dikaitkan dengan akad wadî’ah pada produk simpanan Bank berupa Bonus ? Perlu
kehati-hatian dalam memahami hal ini agar tidak memunculkan sikap meremehkan (al-tasâhul) yang berujung pada asal
membuat hukum (tahakkum). [KH.
Ma’ruf Amin hafizhahullâh , Fatwa
Dalam Sistem Hukum Islam, hal 7 dan 28]
Bank Syariah menggunakan dana titipan
Nasabah untuk kegiatan investasi, maka titipan tadi bersifat yad
al-dhamân (dengan kewajiban
menjamin pengembaliannya). Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah (KHES) Pasal
413 ayat (3) menyatakan
bahwa dalam wadi’ah dhamanah objek
titipan dapat digunakan tanpa seizin (penitip/muwaddi’).[lihat juga kajian halat
dhamân al-wadî’ah di al-Zuhailiy, Jil 4, hal 714-722]
‘Ulama berbeda pendapat tentang milik
siapa kentungan investasi atas harta titipan tanpa izin dari pemiliknya, dengan
rangkuman sebagai berikut ; i) milik penitip karena keuntungan tersebut timbul
dari harta miliknya, ii) diperuntukkan bait al-mâl (penggunaannya
untuk kepentingan umum umat Islam), iii)
harus disedekahkan, iv) milik penerima titipan atas dasar usaha dan maqashid
dan v) dibagi antara penitip dan penerima titipan.
Pendapat yang kelima (v) ini disampaikan
oleh Imam Ahmad Ibn Hanbal rahimahullâh,
sebagaimana dijelaskan oleh Syaikhul Islam Ibn Taimiah rahimahullâh dalam
kitab Mukhtashar al-fatawa al-mishriyyah
dan Majmu’ Fatawa Ibn Taimiah.
Penjelasan tersebut didasarkan pada kisah keputusan Umar radhiallâhu ‘anhu atas bisnis yang dilakukan oleh kedua anaknya yang
menggunakan modal usaha dari harta negara sebagaimana termaktub dalam kitab al-muwaththa karya Imam Malik rahimahullâh.
Titik temu antara akad wadi’ah dan akad mudharabah terdapat pada
atsar sahabat yang kedudukan hukumnya masih di-ikhtilaf-kan. Akan tetapi,
sebagai kekayaan gagasan dalam khazanah fikih Islam, pendapat tersebut
merupakan satu gagasan yang
solutif atas persoalan hukum yang muncul pada zamannya. Kalaupun ide tersebut
diterima maka akad mudharabah bersifat retroaktif (berlaku surut) karena pada
awalnya dan ketika Abdullah serta Ubaidillah melakukan investasi atau kegiatan
usaha dengan harta negara, tidak dinyatakan kedudukannya sebagai mudharib (yang
timbul karena akad mudharabah). [Fikih Mu’amalah Maliyyah Jilid Akad Tabarru’, hal 68-69]
Mari kita kembali kepada Fatwa MUI Nomor 1
Tahun 2004 Tentang Bunga (Interest/Fa’idah) bahwa bunga adalah :
tambahan yang dikenakan dalam
transaksi pinjaman uang (al-qardh)(1)
yang diperhitungkan dari pokok
pinjaman (2),
tanpa mempertimbangkan
pemanfaatan/hasil pokok tersebut (3),
berdasarkan tempo waktu (4),
diperhitungkan secara pasti di
muka (5),
dan pada umumnya berdasarkan
persentase (6).
Terdapat 6 (enam) unsur dari bunga sebagaimana definisi yang telah
dirumuskan oleh ijtimâ’ ‘ulamâ.
Sekarang mari
kita lihat definisi ribâ
yang dirumuskan oleh para ‘ulamâ ; sebagaimana
dikutip dari al-Fiqh al-Islâmiy wa Adillatuh, Mazhab Hanafi dalam al-kanz mendefinisikan ribâ ; Kelebihan
harta tanpa 'iwadh (1) pada
transaksi pertukaran harta dengan harta (2)" [jilid 4, hal
435]. Terdapat 2 unsur dari ribâ sebagaimana definisi yang telah dirumuskan
oleh ‘ulamâ.
Definisi lainnya dari ribâ adalah
sebagaimana dirumuskan ijtimâ’‘ulamâ dalam menghukumi bunga (Fatwa
MUI Nomor 1 Tahun 2004 Tentang Bunga (Interest/Fa’idah)) yaitu ; tambahan tanpa imbalan (1) yang
terjadi karena penangguhan dalam pembayaran (2) yang diperjanjikan
sebelumnya (3). Dan inilah
yang disebut riba nasi’ah. Terdapat 3 unsur dari ribâ sebagaimana definisi yang telah dirumuskan
oleh ijtimâ’ ‘ulamâ.
Sekarang coba bandingkan
dengan aturan wadî’ah yang dirumuskan ijtimâ’ ‘ulamâ dalam fatwa Giro dan Tabungan ;
“bersifat titipan (1)
titipan bisa diambil kapan saja (on call) dan/atau berdasarkan
kesepakatan (fatwa tabungan) (2)
Tidak ada imbalan yang disyaratkan
(3),
kecuali dalam bentuk pemberian
(‘athaya) yang bersifat sukarela dari pihak bank (4)”.
Terdapat 4 (empat) unsur yang
dirumuskan ijtimâ’ ‘ulamâ agar‘urf atau common practice dalam produk Simpanan tidak melanggar prinsip
Syariah atau tidak menjadi ribâ. Rumusan inilah yang dapat dipedomani
oleh Lembaga Keuangan Syariah (LKS).
Unsur pertama bunga, yaitu tambahan yang dikenakan dalam transaksi
pinjaman uang (al-qardh). Dalam konteks ‘Urf atau common practice di bidang
penghimpunan dana, unsur pertama ini dibatasi dengan keputusan bahwa Giro dan Tabungan
(Simpanan Wadi’ah) sebagai berikut ; “bersifat
titipan
(1), titipan bisa diambil kapan saja (on call) dan/atau berdasarkan
kesepakatan (2).
Skema
Qardh (pinjaman) umumnya berlaku pada sisi penyaluran dana
(kredit/pembiayaan). Penerima pinjaman dapat menunda
pengembalian bilamana ia tidak mampu
mengembalikan. Bahkan Islam menganjurkan kepada Pemberi Pinjaman menyedekahkan
hartanya jika memang penerima pinjaman tidak mampu mengembalikannya. Allâh subhânahu wa ta’âla berfirman ;
“Dan jika (orang yang berhutang itu) dalam
kesukaran, maka berilah tangguh sampai dia berkelapangan. Dan menyedekahkan
(sebagian atau semua utang) itu, lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui.” [QS. Al-Baqarah
(2) : 280]
Akad qardh tidak tepat dijadikan skema untuk produk simpanan. Akan
sangat membingungkan umat bilamana Bank Syariah diberi peluang untuk tidak
mengembalikan dana nasabah Simpanan (wadi’ah). Bukankah itu diluar kebiasaan dan
bertentangan dengan hukum positif yang mengatur perbankan? Oleh sebab itu, Fatwa DSN-MUI
sudah tepat. Dalam hal Bank Syariah menggunakan dana untuk kegiatan investasi, maka titipan
tadi bersifat yad al-dhamân (dengan kewajiban menjamin
pengembaliannya). Atas hal ini, Bank Syariah pun
tidak punya peluang berlindung dibalik ayat.
Unsur kedua bunga, yaitu yang diperhitungkan dari pokok
pinjaman. Dalam konteks ‘Urf atau common practice di bidang
penghimpunan dana, unsur kedua
ini dibatasi dengan keputusan bahwa Giro dan Tabungan (Simpanan Wadi’ah) sebagai
berikut ; “kecuali dalam bentuk pemberian (‘athaya)
yang bersifat sukarela dari pihak bank” (4)”.
Tidak ada batasan besaran
keuntungan dan teknik menghitung keuntungan yang dinilai Islami dari
kegiatan usaha. Nilai keuntungan (termasuk teknik perhitungannya) diserahkan
kepada kesepakatan pasar (ar-ribhu ala manittafaqa). Dalam konteks ini, Fatwa
DSN-MUI sudah tepat dengan menyerahkan bonus sepenuhkan kepada kerelaan Bank
Syariah.
Prinsip Kerelaan sesungguhnya
berkaitan dengan fakta yang tidak bisa dibantah, bahwa Islam memiliki
keleluasan dalam penentuan besaran nilai keuntungan dalam usaha. Syaikh Yusuf
Qardhawi, dalam Fatwa-Fatwa Kontemporer, menjelaskan bahwa :
“pada hakikatnya orang yang
mengikuti dan mengkaji sunnah rasul dan Sunnah Rasidiyyah (Khulafa ar-rasyidin)
dan sebelumnya telah meneliti Qur’an- nisacaya ia tidak akan mendapatkan 1 nash
pun yang mewajibkan atau menyunahkan batas keuntungan tertentu...”.“... dan
sepengetahuan saya tidak dijumpai perkataan fuqaha yang memberikan batasan
terhadap besar kecilnya keuntungan yang diraih seorang pedagang dalam
perdagangannya. Kecuali apa yang disebutkan oleh Al-Allamah az-Zaili dari
kalangan ulama Hanafiyah...”.“... Az-Zaili member batasan bahwa melampaui
batasan keji (ta’addi al-fahisy) itu adalah menjual barang dengan dua kali
lipat dari harganya. Tetapi beliau tidak menjelaskan apa yang dimaksud dengan
harganya.” [selengkapnya di https://irham-anas.blogspot.co.id/2017/06/menakar-fatwa-riba-uang-elektronik.html]
Unsur ketiga bunga, yaitu tanpa mempertimbangkan
pemanfaatan/hasil pokok tersebut. Dalam konteks ‘Urf atau common practice di bidang
penghimpunan dana, unsur ketiga
ini tidak dibatasi oleh ijtimâ’
‘ulamâ. Penulis cenderung setuju dengan langkah ini. Bank Syariah sebagai lembaga
bisnis tentu harus mempertimbangkan, tingkat profitabilitas dalam keputusan memberikan
bonus. Berbeda halnya jika Bank Syariah diperlakukan sebagai lembaga sosial, maka yang concern dihitung adalah
kebermanfaatan bukan perkara untung rugi (profitabilitas).
Unsur ke-empat bunga, yaitu berdasarkan tempo waktu. Dalam konteks ‘Urf atau common practice di bidang
penghimpunan dana, unsur ke-empat ini tidak dibatasi oleh ijtimâ’ ‘ulamâ. Penulis cenderung setuju dengan langkah ini. Sebab seorang
pedagang/pebisnis pun tahu bahwa
harga jual tempo akan jauh lebih mahal dari harga barang tunai. Bukankah tunai
dan tempo adalah permasalahan waktu?
Unsur ke-lima bunga, yaitu diperhitungkan
secara pasti di muka. Menurut penulis unsur ini
merupakan “Titik Kritis” yang dapat
mengakibatkan ‘Urf atau common practice di bidang penghimpunan dana melanggar
prinsip Syariah. Sebab inilah unsur dari riba nasiah “yang diperjanjikan sebelumnya”. Ijtimâ’ ‘ulamâ melarang unsur ini
dengan keputusan sebagai berikut ; Tidak ada imbalan yang disyaratkan (3), kecuali dalam bentuk pemberian
(‘athaya) yang bersifat sukarela dari pihak bank (4)”.
Bagaimana mungkin memastikan sesuatu yang
memang tidak pasti ? Bagaimana mungkin memastikan masa depan yang belum pasti ?
Bagaimana
mungkin memastikan jumlah pemberian di awal, bukankah itu ciri praktik suap
(risywah) ? Bagaimana
mungkin kebiasaan memberi sesuatu harus dipastikan, bukankah itu berubah menjadi kewajiban
memberi dan pastinya sangat memberatkan ?
Pemahaman penulis terhadap makna “disyaratkan” dalam
konteks tidak diperjanjikan secara tegas dalam redaksi pasal pada dokumen
perjanjian/akad (dalam segala bentuknya di Bank Syariah). Bank Syariah
merupakan perusahaan bisnis formal. Berbeda kondisi pada transaksi pinjaman
uang antar individu secara informal. Misalnya, pinjaman uang kepada kerabat
dekat. Gerak tubuh berupa “kedipan mata” dan lainnya ataupun tutur kata yang
mengarahkan agar si peminjam uang tahu bahwa ia harus mengembalikan lebih dari
uang yang dipinjamnya, masuk dalam makna “disyaratkan”. Jika ini
yang terjadi maka kelebihan yang diterima si pemberi pinjaman adalah
ribâ.
Unsur ke-enam bunga yaitu pada umumnya berdasarkan persentase. Dalam
konteks ‘Urf atau common practice di bidang penghimpunan dana, unsur ke-enam ini tidak dibatasi oleh
ijtimâ’ ‘ulamâ. Penulis cenderung setuju dengan langkah
ini. Sebab, ribâ itu bukan permasalahan persentase. Riba
adalah permasalahan dasar transaksi dan kepastian diawal.
Persentase
hanya sekedar alat bantu perhitungan. Jika persentase ini dinyatakan ribâ, akan terjadi kekacauan dalam
perhitungan di bidang keuangan disebabkan hilangnya persentase dari muka bumi.
Lalu alat hitung apakah yang bisa digunakan untuk mensimplifikasi perhitungan keuangan? Berapa ribu kampus yang
harus menutup jurusan akuntansi dan keuangan ? Bukankah kedua jurusan itu sangat
akrab dengan persentase ?
Berkaitan dengan perhitungan beban dana
dan pendapatan di Bank Syariah, menarik dibaca Disertasi Dr Trisiladi Supriyanto hafizhahullâh Konsep Rate of Profit Perspektif
Ekonomi Islam (Aplikasi di Bank Syariah).
Kesimpulan berdasarkan urf atau
common practice kedua ;
Akad produk
simpanan Bank Syariah adalah Wadi’ah bukan Qardh. Lainnya adalah mudharabah. Bonus bukanlah ribâ. Ribâ adalah permasalahan dasar transaksi dan kepastian diawal. Bonus adalah bentuk pemberian dari Bank Syariah
atas dasar 'urf atau common practice praktik penghimpunan dana pihak
ketiga
dalam dunia perbankan.
Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama
Indonesia (DSN-MUI) memberi syarat agar pemberian yang menjadi 'urf
atau common practice tadi tidak melanggar Syariah dengan menerbitkan
keputusan yang menyatakan bahwa “Tidak ada imbalan yang disyaratkan,
kecuali dalam bentuk pemberian (‘athaya) yang bersifat sukarela dari pihak
bank”. [Fatwa DSN-MUI No. 1/DSN-MUI/IV/2000 tentang Giro dan No.
2/DSN-MUI/IV/2000 tentang Tabungan]. Perlu dicatat bahwa bonus tidak dapat
diprediksi dan diperjanjikan jumlahnya karena bergantung pada kebijakan Bank
Syariah.
Pesan Kepada Pencari Kebenaran :
Semoga Anda setuju dengan kesimpulan ini, putuskanlah
untuk tetap membuka rekening simpanan di Bank Syariah atau menambah dana
simpanan di Bank Syariah bagi yang sudah menjadi
Nasabah.
Jika Anda tidak menginginkan Bonus dari
Bank Syariah, maka sampaikanlah permohonan tertulis agar simpanan Syariah Anda
tidak perlu diberi bonus dalam keadaan apapun.
Jika Anda tidak setuju konsep Bonus dari
Bank Syariah, maka janganlah kemudian persoalan ikhtilaf ini disikapi dengan kekhilafan. Silahkan membaca link ini [https://irham-anas.blogspot.co.id/2017/11/investor-riba.html].
Kekhilafan ini dapat menjadi wasilah seorang muslim terjebak kepada
keburukan. Sikap itu juga tidak akan pernah mendewasakan
kita dalam beragama. Lâ
hawla wa lâ quwwata illâ billâh.
“Jangan salah pilih lawan” begitulah kata Ustadz Abdul Somad
hafizhahullâh.
“(Ingatlah) tatkala para pemuda
itu mencari tempat berlindung ke dalam gua, lalu mereka
berdoa: "Wahai Tuhan kami, berikanlah rahmat kepada kami dari sisi-Mu dan sempurnakanlah bagi kami petunjuk yang lurus
dalam urusan kami (ini)".
[QS. Al-Kahf (18) ayat 10].
Bersambung ...
Wallâhu a'lam
Wallâhu Muwaffiq ila Aqwam al-Tharîq
baca juga :
Bank Syariah Dihujat
https://irham-anas.blogspot.co.id/2017/11/bank-syariah-dihujat.html
Sohib dan Solmed Punya Cerita
https://irham-anas.blogspot.com/2018/11/sohid-dan-solmed-punya-cerita.html
Cahaya ; Refleksi tentang Liberalisasi dan Islam
https://irham-anas.blogspot.co.id/2017/11/cahaya.html
Sharia Business Intelligence
https://irham-anas.blogspot.co.id/2017/11/sharia-business-intelligence.html
baca juga :
Bank Syariah Dihujat
https://irham-anas.blogspot.co.id/2017/11/bank-syariah-dihujat.html
Sohib dan Solmed Punya Cerita
https://irham-anas.blogspot.com/2018/11/sohid-dan-solmed-punya-cerita.html
Cahaya ; Refleksi tentang Liberalisasi dan Islam
https://irham-anas.blogspot.co.id/2017/11/cahaya.html
Sharia Business Intelligence
https://irham-anas.blogspot.co.id/2017/11/sharia-business-intelligence.html
Comments
Post a Comment