Fatwa ‘Ulama Dewan

by
Irham Fachreza Anas
member of Sharia Business Intelligence 

“Saya ikut fatwa Ulama Dewan”. Lebih kurang, kalimat itu yang sering terucapkan jika berhadapan dengan mereka (Radikal Kiri, Radikal Kanan dan Radikal Bebas) di mana pun bertemu.             

Kalimat itu juga yang sengaja di-posting dalam grup dosen ketika ramai pembicaraan tentang Bank Muamalat dan Mina Padi. Ramai bukan karena kasus pembelian sahamnya, melainkan postingan viral via whatsapp yang menghakimi Bank Muamalat karena dianggap menyimpang dari Syariah atas suatu transaksi tertentu, sungguh wow curhatannya, luar biasah.

Al-ifta atau memberi fatwa dilakukan oleh kelompok para pakar ijtimâ’ jamâ’iy terhadap persoalan tertentu yang umumnya menyangkut kepentingan luas. Al-ifta (memberi fatwa) juga dapat dilakukan oleh perorangan dalam bentuk menjelaskan status hukum persoalan tertentu yang umumnya menyangkut masalah perorangan.

KH. Ma’ruf Amin hafizhahullâh menjelaskan beberapa faktor yang menjadikan  al-ifta secara kelompok lebih didahulukan untuk dipilih daripada al-ifta perorangan;
“Perkembangan Modernisasi dalam segala segi kehidupan. Masalah-masalah kontemporer ini tidak memadai jika diselesaikan dengan ijtihad perorangan. Mau tidak mau diperlukan musyawarah dan tukar pendapat dari para pakar dari berbagai disiplin ilmu.
Perkembangan spesialisasi ilmu pengetahuan. Dewasa ini ilmu pengetahuan semakin spesifik dibahas dan dipelajari. Spesialisasi Bahasa Arab, fiqh dan ushul fiqh dan berbagai disiplin ilmu yang lebih khusus menyebabkan seorang ilmuwan tidak lagi dapat menguasai ilmu pengetahuan yang menyeluruh sebagaimana halnya ulama terdahulu. Dalam memecahkan  suatu persoalan, sering diperlukan informasi dan pemikiran dari berbagai ilmuwan yang bidangnya terkait dengan persoalan tersebut” [Fatwa Dalam Sistem Hukum Islam, hal 43-44]

Ijtimâ’ jamâ’iy dalam konteks Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) adalah forum-forum yang khusus diadakan oleh organisasi keagamaan di Indonesia. Misalnya, Komisi Fatwa MUI, Bahtsul Masâil Nahdhatul ‘Ulamâ, Majelis Tarjih Muhammadiyah, Lembaga Hisbah Persis dan forum ulama lainnya.

Dalam konteks Lembaga Keuangan Syariah Indonesia, penulis memilih mengikuti fatwa-fatwa yang diterbitkan oleh Forum Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia dan/atau Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia. Mengikuti Fatwa DSN-MUI bukan sekedar mengikuti (muqallid) dan penulis bukanlah anggota Gerakan Nasional Pengawal Fatwa MUI (GNPF-MUI) yang telah berubah nama menjadi Gerakan Nasional Pengawal Fatwa Ulama (GNPF-U). Pilihan untuk mengikuti Fatwa DSN-MUI adalah dengan mempelajari dalil-dalil yang digunakan dalam penerbitan fatwa.

“Dari segi ia masih mengikuti pendapat orang lain atau metoda yang disusun orang lain, tidak tepat kalau dinamakan mujtahid (dalam arti mutlak). Namun karena pada waktu mengikuti pendapat orang lain itu ia mengetahui secara baik pendapat orang lain yang diikutinya itu, maka tidak tepat pula kalau ia dinamai muqallid. Untuk membedakannya dengan golongan pertama dan kedua, maka golongan ketiga ini dinamai “muttabi”.
[Prof. Dr. H. Amir Syarifuddin hafizhahullâh, Ushul Fiqh 2, hal 411]

Suatu ketika dalam kelas khusus (+ di tahun 2012) saya pernah mengajukan pertanyaan “Ustadz bukankah ini ‘înah ?”. Ustadz hafizhahullâh yang juga aktif dalam DSN-MUI dan Direktorat Perbankan Syariah Indonesia (DPbS) Bank Indonesia kala itu memberikan penjelasan disertai batasan. Secara sadar penulis setuju dengan argumentasi Beliau. Persetujuan itu bukan lahir karena taqlid buta kepada ‘Ulama akan tetapi lahir dari pemahaman terhadap dalil dan kesesuaiannya dengan konteks masalah yang menjadi duduk perkara.

Fatwa DSN-MUI bukan lahir dalam sehari, melainkan lahir melalui proses panjang berhari-hari. Fatwa DSN-MUI bukan lahir dari hasil kontemplasi pribadi, melainkan lahir dengan melibatkan beragam ahli ; ‘Ahli Fiqh, Ahli Ushul Fiqh, Ahli Bahasa, Praktisi, Regulator, Ahli Hukum (Positif) dan  pihak terkait lainnya. Sepanjang pengamatan, fatwa yang diterbitkan DSN-MUI tetap mempertimbangkan aspek hukum positif yang mengikat objek fatwa, common practice yang terjadi pada objek fatwa, juga perspektif sosio-kultural masyarakat Indonesia. Inilah yang menjadi pembeda Fatwa ‘Ulama Dewan.

Jangan kemudian menuduh Forum Majelis Ulama Indonesia tunduk pada hukum kafir atau thâgut atau kebiasaan jâhiliyah. Kalau tuduhan ini masih ada dalam benak pikiran, penulis rekomendasikan untuk membaca :

“Api Sejarah – Mahakarya Perjuangan Ulama dan Santri Dalam Menegakkan Negara Kesatuan Republik Indonesiakarya Ahmad Mansur Suryanegara.

Pembaharuan Hukum Ekonomi Syariah Dalam Pengembangan Produk Keuangan Kontemporer (Transformasi Fikih Muamalat Dalam Pengembangan Ekonomi Syariah) oleh KH. Ma’ruf Amin hafizhahullâh sebagai Pidato Ilmiah Pada Penganugerahan Gelar Doktor Kehormatan (Doctor Honoris Causa) Dalam Bidang Hukum Ekonomi Syariah tanggal 05 Mei 2012 di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

Solusi Hukum Islam (Makharij Fiqhiyyah) Sebagai Pendorong Arus Baru Ekonomi Syariah Di Indonesia. (Kontribusi Fatwa DSN-MUI dalam Peraturan Perundang-undangan RI) oleh KH. Ma’ruf Amin hafizhahullâh sebagai Orasi Ilmiah Pada Pengukuhan Guru Besar Bidang Ilmu Ekonomi Muamalat Syariah tanggal 24 Mei 2017 di Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang.

Simaklah penjelasan DR. M. Ridwan, MA terhadap Fatwa DSN-MUI

Di sisi lain, menurut Ridwan, Malaysia tentu bisa belajar dari karakteristik fatwa LKS di Indonesia yang lebih moderat. Artinya tidak terlalu ”liberal” seperti Malaysia atau terlalu ”stricted” seperti fatwa di Timur Tengah. ”Saya kira, fatwa-fatwa kita saat ini mulai dipelajari oleh beragai negara,” kata Ridwan menambahkan. [https://mridwancenter.wordpress.com/2014/11/10/fatwa-ekonomi-syariah-kita-lebih-baik-daripada-malaysia/]


Pesan Pak Ustadz
Perbedaan antara fikih dan fatwa bisa dipahami dari definisi keduanya. Fikih didefinisikan sebaga al-‘ilmu bil ahkam al-syariyyah al-‘amaliyah al-muktasab min adillatiha al-tafshiliyyah9 (mengetahui hukum syari’ah amaliah yang digali dari dalil-dalil yang bersifat rinci). Sedangkan fatwa dapat didefenisikan sebagai tabyin al-hukm as-syar’iyy liman saala ‘anhu10 (menjelaskan hukum syar’i kepada yang menanyakannya). Definisi ini memberikan gambaran bahwa fikih merupakan hasil dari proses penyimpulan hukum syar’i dari dalil-dalil rinci (tafshili), sedangkan fatwa merupakan hasil dari proses penyimpulan hukum syar’i dari permasalahan yang ditanyakan. Fikih bersandar pada proses penggalian terhadap dalil-dalil tafshili, sedangkan fatwa bersandar pada identifikasi permasalahan (tashawwur al-masalah) kemudian dicarikan hukumnya dari dalil-dalil tafshili. Dengan begitu, perbedaan mendasar antara fikih dan fatwa adalah pendekatan identifikasi permasalahan yang terjadi ; fikih tidak memerlukannya, sedangkan fatwa sangat memerlukannya.11

Kesimpulan tersebut mempertegas proposisi di atas, bahwa fatwa lahir selain didasarkan atas nushush syar’iyyah, juga didasarkan atas refleksi dari kondisi sosial yang melingkupinya12. Sebagaimana difahami bahwa proses identifikasi permasalahan yang ditanyakan oleh mustafti (orang yang meminta fatwa) merupakan refleksi terhadap kondisi sosial yang melingkupinya. Akibatnya, fatwa yang merupakan hasil dari proses mendialogkan kondisi sosial dan nash menghasilkan kesimpulan hukum yang mungkin berbeda dari kesimpulan hukum yang termaktub dalam kitab-kitab fikih terdahulu.
Kutipan teks Pidato Ilmiah KH. Ma'ruf Amin hafizhahullâh berjudul Pembaharuan Hukum Ekonomi Syariah Dalam Pengembangan Produk Keuangan Kontemporer (Transformasi Fikih Muamalat Dalam Pengembangan Ekonomi Syariah) hal 7, pada Penganugerahan Gelar Doktor Kehormatan (Doctor Honoris Causa) Dalam Bidang Hukum Ekonomi Syariah tanggal 05 Mei 2012 di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah   


Kalau yang dimaksud Ustadz Sunnah dan Kajian Sunnah adalah para Ahli Hadits, pergi ke Apoteker memang menjadikan kita memperoleh obat. Jawabannya terang dan pasti; sakit A maka obatnya X.

Tapi cobalah sesekali datang ke majelis Ahli Fiqih yang mungkin tidak tampak sebagai Ustadz Sunnah dan Kajian Sunnah; barangkali di sana kita akan berjumpa dokter yang akan memeriksa kesesuaian kondisi badan kita dengan obat yang ada.

Kadang memang majelis seperti ini tidak langsung tegas memberi jawab obatnya apa. Telaahnya sering agak memutar, rumusannya sering tak pasti, tapi ia memberi kita wawasan untuk berpikir serta memutuskan pilihan sendiri. Demikianlah terapi yang mendewasakan kita dalam beragama.
Ustadz Salim A Fillah hafizhahullâh dalam essai berjudul Ustadz Sunnah
  

Fiqh adalah kesimpulan hukum yang dipahami dari dalil-dalil. Adalah Hak kita untuk selalu bertanya apa dalil yang melandasi suatu kesimpulan fiqh. Memahami masalah fiqh dengan mengetahui dalil yang menjadi landasannya menjadikan kita tenang dalam beragama, terutama dalam beribadah. Kita lebih merasa mengikuti petunjuk-petunjuk Allah dan Rasul-Nya. (hal vii)

Berbeda pendapat dalam fiqh suatu hal yang wajar. Mengumpulkan umat dalam satu fiqh merupakan suatu hal yang mustahil. Solusi dari ini semua adalah saling menghormati dalam hal perbedaan pendapat dalam fiqh selama ada dalil yang dipegang. Imam Malik beberapa abad yang lalu sudah memahami hal ini. Beliau pernah menolak keinginan Khalifah Harun Ar-Rasyid untuk memaksa umat untuk berpegang pada satu mazhab, menghapus mazhab fiqh yang lain dan menjadikan mazhab Maliki dan kitab Al-Muwaththa' sebagai satu-satunya mazhab dan satu-satunya kitab fiqh. (hal viii)
DR. Mohamad Taufik Hulaimi hafizhahullâh (Editor Ahli Fiqh Sunnah- Terjemah Al-I'tishom)


Wallâhu a'lam

Wallâhu Muwaffiq ila Aqwam al-Tharîq



baca juga :

Bank Syariah Dihujat
https://irham-anas.blogspot.co.id/2017/11/bank-syariah-dihujat.html

Sohib dan Solmed Punya Cerita
https://irham-anas.blogspot.com/2018/11/sohid-dan-solmed-punya-cerita.html

Cahaya ; Refleksi tentang Liberalisasi dan Islam
https://irham-anas.blogspot.co.id/2017/11/cahaya.html

Sharia Business Intelligence
https://irham-anas.blogspot.co.id/2017/11/sharia-business-intelligence.html



Comments